Awal Mula Konflik Suriah

Setelah lama dipimpin oleh diktator, masyarakat dari beberapa negara Timur Tengah mulai bosan dan berharap untuk mendapatkan pemerintah yang demokratis. Hal ini memicu peristiwa yang disebut dengan Arab Spring, yaitu aksi para warga yang turun ke jalan untuk melancarkan aksi demonstrasi terhadap pemerintah. Arab Spring di awali pada tahun 2010 di Tunisia, lalu menyebar ke negara sekitarnya

Beberapa aksi demonstrasi ini berujung pada runtuhnya rezim diktator dan digantikan dengan rezim yang demokratis, seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Algeria. Namun, Arab Spring tidak selalu berjalan baik bagi para demonstran. Beberapa aksi demonstrasi berakhir dengan Perang Saudara, seperti yang terjadi di Libya, Yaman, dan yang paling besar adalah Suriah.

Hafez Al-Assad, seorang pengikut Syiah Alawiyah telah menjadi presiden Suriah selama tiga puluh tahun. Sepanjang masa pemerintahannya, dia melakukan modernisasi dan industrialisasi terhadap Republik Suriah yang berhaluan Sosialis (Al-Istirokiyah), membuat negara itu menjadi kekuatan baru di Timur Tengah. Namun, dia bukanlah pemimpin demokratis, siapa pun yang menentangnya akan ditangkap. Penjara dipenuhi oleh tahanan politik, kebebasan berbicara diredam, dan siapa pun yang berani protes akan dipenjara, lalu disiksa.

Setelah kematiannya pada tahun 2000, Hafez Al-Assad digantikan oleh anaknya yang bernama Bashar Al-Assad. Selama belasan tahun terakhir, Bashar Al-Assad mengikuti legacy ayahnya, Hafez. Demokrasi tetap tidak hadir dan kendati negara Suriah yang sosialis memberikan banyak subsidi kepada rakyat namun bencana kekeringan yang waktu itu menjangkiti Suriah membuat ekonomi rakyat tercekik.

Pada tahun 2011, pengaruh Arab Spring menjalar ke negara-negara Timur Tengah, salah satunya adalah Suriah. Di suatu kota bernama Daraa, lima belas remaja ditangkap karena membuat grafiti slogan anti-Assad di tembok sekolah mereka. Remaja-remaja itu ditahan dan disiksa oleh pasukan keamanan partai Ba’ath milik Assad. Akibat kejadian itu, para warga di kota Daraa turun ke jalan dan mengadakan demonstrasi damai untuk menuntut pembebasan remaja-remaja tersebut. Mereka juga menuntut adanya reformasi dan keterbukaan.

Tentara Suriah merespons tuntutan itu dengan menembakkan timah panas kepada rakyatnya sendiri, menewaskan empat orang. Keesokan harinya, sepuluh ribu demonstran berdemo di makam mereka yang kemarin tewas. Hal yang sama terjadi lagi, pasukan keamanan menembak kearah kerumunan warga, menewaskan enam orang dan membuat ratusan lainnya luka-luka.

Beberapa minggu setelahnya, aksi protes menyebar dan terjadi di beberapa kota. Kekacauan pun tidak terhindarkan. Lima belas hari setelah penangkapan para remaja, Assad mengirim perwakilan ke Daraa untuk membebaskan mereka, berharap kekacauan bisa segera usai. Namun, percikan api telah membara menjadi api yang besar, aksi protes telah menyebar ke seluruh negeri. Pada 18 April, ratusan ribu warga Suriah memadati menara jam di Kota Homs dalam aksi damai menolak pemerintahan Assad. Pada dini hari keesokan harinya, pasukan keamanan menyerbu para demonstran, menewaskan 108 orang termasuk 34 wanita dan 49 anak-anak, sementara 300 orang lainnya mengalami luka (menurut data dari PBB).

Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Penembakan di Houla ini menjadi titik penting dalam Perang Saudara Suriah. Kira-kira setengah dari pasukan keamanan Suriah membelot dan bergabung bersama rakyat menjadi pemberontak bersenjata yang disebut FSA atau Free Syrian Army yang didukung oleh Republik Turki, Saudi Arabia dan Amerika Serikat yang bertekad menumbangkan rezim Assad. Apa yang awalnya merupakan aksi demonstrasi damai, berubah menjadi perang saudara dan Perang Proksi yang berlangsung hingga hari ini.

 

REFERENSI

https://www.facebook.com/110196607258211/posts/135575864720285/?app=fbl

https://www.merdeka.com/dunia/sejarah-propaganda-perang-belajar-dari-konflik-suriah.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Awal Mula Konflik Suriah"

Posting Komentar