CERPEN-Zahra Arifia Shaumi
Di suatu pagi yang cerah, Aku, Nada, dan Nadia berbincang-bincang
di teras rumah. Kita adalah saudara kandung, Nada dan Nadia itu anak kembar,
dan aku adalah kakak mereka. Kita menggosip tentang Iwan yang karismanya sangat
memikat hati perempuan mana saja yang melihatnya. Ia adalah anak pak RT dusun
sebelah, tapi namanya sudah menjalar di seluruh penjuru kota ini. Iwan dikenal sebagai
orang yang sopan, ramah, dan baik hati. Belum lama terdengar jika Iwan sakit
dan gejalanya mendekati penyakit yang sedang trend belakangan ini. Bahkan katanya
Iwan sudah melakukan test yang hasilnya positif, dan ia harus di rawat di RSUD
setempat. Wahh bukan main-main nih, Si Iwan yang dalam suasana biasa saja
selalu jadi omongan orang-orang, apalagi dengan keadaan dia yang seperti
sekarang ini.
“Duh kasian banget ya si Iwan. Andai saja aku ini
kekasihnya sudah kurawat dia bak kedelai hitam yang ku besarkan seperti anak
sendiri”, Celetuk Nada. Nadia yang ingin membangunkanya dari mimpi, tak
segan-segan memotong imajinasinya, “Hushh kamu ini kok ya bisa-bisanya ngomong
gitu. Ini kan penyakit yang menular dengan cepat. Boro-boro kamu mau merawat
dia, bu RT saja sepertinya ngga mau pegang”, Aku dan Nadia sontak tertawa.
“Wah lagi pada ngomongin apa sih kok kayaknya seru banget”,
“Mm itu…” Belum selesai aku menjawab, Ibu sudah melanjutkan kalimatnya. “ Itu
tadi ibu denger dari penjual ayam di pasar, katanya Bang Karjo sekarang
tertular virus corona. Makanya kalian hati-hati ya, Tapi tadi kalian sudah cuci
tangan yang bersih kan?”, “Sudah bu…” , jawab kami bebarengan. “Pantas saja dia
bu kalau tertular. Orang dia kerjaanya keluyuran ngga jelas.” Aku yang tak bisa
mengendalikan lagi pun terbawa emosi. Jadi, Bang Karjo ini dikenal sebagai
pereman kampung. Ia pengangguran dan sukanya mencuri di pasar. Kemudian jika
sore sudah tiba, ia pulang ke rumahnya, entah apa yang dilakukannya. Kata
orang-orang sih itu jam nya dia tidur. Kemudian jika sudah jam 22.00 ke atas,
dia bangun lalu pergi entah kemana. Ternyata dia sering main judi di belakang
pasar hingga pagi tiba dan ditemuinya tergeletak di pasar. Alibinya sudah
sangat melekat di telinga orang-orang kampung, sehingga tak heran banyak orang
yang geram dengannya, termasuk aku. “Ya bukan berarti pantas dong nak, virus
ini ngga memandang orang seperti apa yang akan tertular. Jadi siapa saja punya
kemungkinan untuk tertular. Tapi yang paling penting, kita menjaga diri dan
waspada. Lagi pula, Bang Karjo kemarin riwayatnya sebab mengantar Iwan berobat
ke RSUD.” Oh iya, seburuk-buruknya Bang
Karjo, ia tetap mempunyai jiwa yang baik. Yaitu Bang Karjo sangat ringan tangan
bagi siapa saja yang membutuhkan jasanya. Ia kerap kali menjadi ojek sebagai
tukang antar barang. Kadang ia juga disuruh ikut rewang di rumah orang yang punya hajatan untuk sekedar menjadi
tukang cuci piring. Bagi Bang Karjo ia rela mengerjakan apa saja yang penting
ia mendapatkan upah, walaupun menghalalkan segala cara sih.
Tiba-tiba bapak dari dalam rumah menghampiri kami yang
tengah asik berbincang, “Ya ngga gitu dong. Kita jangan dulu mengejudge orang sembarangan. Bang Karjo
itu belum positif, ia baru PDP.” “PDP itu apa pak?”, tanyaku. “PDP itu Pasien
Dalam Pengawasan, yang berarti Bang Karjo masih menunggu hasil lab. Bang Karjo
dinyatakan PDP sebab ia memiliki kontak langsung dengan yang positif terkena,
kemudian selepas mengantar Iwan ke RSUD, Bang Karjo merasa tidak enak badan. Ia
sekarang pun tengah mengkarantina diri secara mandiri di rumahnya. Jadi kita
jangan lantas menyimpulkan ya, sebab kasian Bang Karjo apabila ternyata
hasilnya negatif. Lagian ibu juga sih, berita belum bener udah percaya aja
hahahaha.” Aku, Nada, dan Nadia sontak tertawa mengikuti bapak. Ibu yang merasa
tersindir pun langsung bersungut dan masuk ke dalam rumah.
TAMAT
Mantap zahra
BalasHapus