Terhitung sejak 16 Maret 2020, keluar imbauan dari pemerintah tentang social distancing. Social distancing secara harfiah berarti menjaga jarak serta menghindar dari kerumunan dan keramaian. Selain social distancing, pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk melakukan physical distancing yakni menjaga jarak fisik dengan orang lain dengan jarak sekitar 1 sampai 2 meter. Imbauan social distancing menyebabkan dilarangnya berbagai kegiatan yang menciptakan dan menyebabkan kerumunan banyak orang. Termasuk di dalamnya kegiatan pelayanan publik, pembelajaran, dan juga kegiatan lainnya. Kemudian, muncul pula istilah work from home atau bekerja dari rumah.
Social distancing karena Covid-19 bahkan berimbas pada banyak sektor, mulai dari ekonomi, sosial, dan pendidikan hingga urusan keagamaan. Social distancing tentunya menjadi suatu hal yang sangant sulit dilakukan bagi masyarakat Indonesia yang biasa dengan kehidupan sosial yang kuat. Budaya-budaya tahlilan, jamaah, dan perkumpulan lainnya sudah menjadi suatu hal yang mengakar kuat di masyarakat. Bahkan hingga ada istilah makan nggak makan yang penting kumpul. Social distancing tentunya banyak menggeser budaya tersebut dan menjadi dilema tersendiri di tengah masyarakat. Belum lagi bagi mereka para perantau. Bagi para perantau yang bekerja sebagai karyawan pabrik yang dirumahkan, tentunya menjadikan mereka tidak memiliki penghasilan. Secara otomatis, ketiadaan penghasilan jelas semakin mempersulit kehidupan mereka. Memang pemerintah telah memberikan keringanan bagi mereka yang mengambil kredit dengan adanya kebijakan terkait penundaan pembayaran kredit hingga satu tahun. Namun, kebijakan tersebut tidak serta merta membuat masyarakat terutama para perantau menjadi lega. Tentunya jelas permasalahan ketiadaan penghasilan menjadi masalah utama bagi mereka yang dirumahkan.
Juga dengan mahasiswa di berbagai daerah. Mereka kebingungan dengan ketidakpastian jadwal dan ketentuan perkuliahan yang simpang siur. Meskipun tetap ada perkuliahan dengan sistem daring, hal tersebut bukan berarti masalah terselesaikan. Situasi dan kondisi yang serba terbatas dan tidak dapat dipastikan menjadi permasalahan yang tentunya menghambat proses perkuliahan. Banyak mahasiswa yang galau dan bertahan di kos-kosan atau kontrakan hanya untuk menunggu kepastian terkait perkuliahan, yakni antara tetap melangsungkan perkuliahan secara daring sampai dengan akhir semester atau akan ada perkuliahan seperti biasa setelah masa social distancing berakhir. Menjadi dilema bagi para perantau dari berbagai daerah, di satu sisi mereka menunggu kepastian nasib mereka di perantauan. Apakah masih harus bertahan di perantauan dengan segala ketidakpastian. Atau mereka harus kembali ke kampung halaman dengan segala konsekuensinya.
Pada dasarnya, dilema para perantau baik mahasiswa atau pekerja sama saja. Mereka dilema antara harus bertahan di perantauan atau kembali ke kampung halaman. Tentunya ada konsekuensi di setiap pilihannya. Memilih untuk tetap di perantauan dengan kesendirian di tempat tinggal tentunya menciptakan kegalauan tersendiri. Belum lagi permasalahan terkait minimnya penghasilan dan kebutuhan hidup yang harus terus dipenuhi. Apalagi bagi para mahasiswa rantau yang tentunya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah penghasilan. Memilih untuk pulang ke kampung halaman bukan berarti tanpa risiko. Risiko terpapar corona menjadi lebih besar. Mungkin memang dirinya ketika pulang ke kampung halaman tidak terpapar virus, namun besar kemungkinan terpapar virus di perjalanan. Bukan hanya itu, mereka yang baru datang dari luar kota akan langsung dimasukkan ke kategori orang dalam pengawasan (ODP).
Dilema para perantau semakin menjadi ketika pandemi virus corona justru belum menemukan titik terang hingga menjelang Bulan Ramadhan. Adanya kemungkinan karantina wilayah yang akan dilaksanakan pemerintah menyebabkan setiap orang dilarang untuk bepergian keluar atau masuk wilayah atau daerah. Para perantau yang biasanya akrab dengan tradisi mudik lebaran dihadapkan dengan masalah baru, yakni larangan untuk melaksanakan mudik. Tradisi mudik lebaran yang dilarang tentunya akan menciptakan kegalauan tersendiri bagi para perantau. Mereka yang biasanya merayakan hari raya dengan keluarga dan orang terkasih harus berlebaran di tanah perantauan.
Stay safe selalu yaaa buat kita semua
BalasHapus